Kamis, 08 Mei 2014

Pengembang Properti Tolak Pencabutan Subsidi untuk Rumah Tapak


http://images.detik.com/content/2014/05/08/1016/134828_rumah.jpg
Jakarta -Pengembang properti menolak penghapusan subsidi rumah tapak berlaku di seluruh Indonesia. Mereka ingin pencabutan subsidi rumah tapak hanya berlaku di kota-kota besar saja seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan lainnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman (Apersi) Anton Santoso mengatakan pada prinsipnya kebijakan ini baik untuk mencegah lahan produktif beralih fungsi jadi perumahan dan mendorong masyarakat tinggal di rusun agar lebih dekat dengan tempat kerja.

"Sebetulnya rumah susun itu kalau hanya ditetapkan di kawasan padat penduduk, itu kami setuju. Kalau dipukul rata semuanya itu, nggak akan jalan, yang ada nanti justru bumerang bagi pemerintah dalam rangka pengurangan backlog (kurang pasok rumah)," kata Anton saat dihubungi detikFinance,Kamis (8/5/2014).

Anton mengatakan konsep subsidi rumah hanya untuk rusun justru lebih cocok di kota-kota besar, antaralain Jakarta, Surabaya, Medan, dan di wilayah-wilayah lain yang sudah padat penduduk.

"Jangan digeneralisasi. Yang ada nggak laku, nanti di Papua, Maluku yang tanahnya masih luas bagaimana. Budaya masyarakat di sana kan masih tinggal di rumah tapak," katanya.

Masyarakat di wilayah-wilayah yang belum padat penduduk, seperti di luar Jawa seharusnya tidak didorong untuk tinggal di rusun dengan mencabut subsidi untuk rumah tapak. Anton menilai budaya masyarakat masih ingin tinggal di rumah dengan halaman, kebun dan suasana rumah tapak pada umumnya.

"Memang lahan mahal kemudian itu harus dibuat rusun tapi kalau kita harus membangun di Papua, Sulteng, dan lainnya yang tanahnya masih luas dan terjangkau, lalu dipaksakan dibangun rusun itu akan berdampak negatif," katanya
Anton menambahkan Apersi meminta adanya harga khusus yang ditetapkan di zona-zona yang pada penduduk dan harga tanahnya mahal terkait pembangunan rumah subsidi.

Ia berharap, ada peninjauan kembali Keputusan Menteri Perumahan Rakyat (Kemenpera) sehingga tak merugikan masyarakat berpengasilan rendah (MBR) yang butuh rumah.

"Semoga pemerintahan baru meninjau kembali peraturan ini," katanya.

Kementerian Perumahan Rakyat telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) No 3 Tahun 2014, diantaranya mencabut subsidi untuk rumah tapak, demi menghindari konversi lahan pertanian menjadi hunian. Sebagai gantinya subsidi rumah hanya diberikan kepada rusun saja.

Rabu, 07 Mei 2014

Ini Perjalanan Program Rumah Subsidi dari Masa ke Masa


http://images.detik.com/content/2014/05/08/1016/081712_rumahmurahkarawang.jpg
Jakarta -Subsidi bunga untuk rumah tapak dengan skema pembiayaan KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) akan disetop pemerintah per 1 April 2015.

Banyak pihak termasuk masyarakat menyayangkan kebijakan ini. Apa penjelasan Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz?

Djan Faridz beralasan, saat ini banyak lahan produktif yang digusur, dikonversi, dan dijadikan lahan untuk perumahan atau permukiman. Kebijakan ini salah satunya ditujukan untuk mencegah makin banyak lagi fenomena tersebut.

"Subsidi (1 April 2015) hanya untuk rumah susun, supaya tanah, sawah yang produktif tidak habis untuk rumah tapak," kata Djan kepada detikFinance,

Djan menegaskan, subsidi untuk rusun tetap diteruskan. Karena tujuannya adalah untuk mendorong masyarakat tinggal di rumah susun. Kebijakan ini tak hanya berlaku di kota-kota besar, melainkan semua wilayah di seluruh Indonesia.

"Minimal rusunnya 2 atau 4 lantai dan lokasinya lebih dekat dengan kota," jelasnya.

"Ini juga bisa mengurangi kemacetan," imbuh Djan.

Djan meyakini kebijakan ini akan berhasil, sehingga masyarakat bisa tinggal di rumah susun. Di zaman dulu pun menurutnya, rusun bisa diterima masyarakat.

"Zaman Pak Harto (Mantan Presiden Soeharto), Perumnas sudah membangun rusun, dan masyarakat bisa menerimanya," ucapnya.
(zul/ang) 

Selasa, 06 Mei 2014

Pengembang Ini Sumringah Harga Rumah Subsidi Naik 30%


http://images.detik.com/content/2014/05/07/1016/173014_rumahcetak5.jpg
Jakarta -Kenaikan harga rumah bersubsidi hingga 30%-40% disambut gembira pengembang di daerah. Misalnya di Jawa Timur, harga rumah subsidi sudah naik dari Rp 88 juta jadi Rp 115 juta atau naik 30%.

Salah satunya pengembang rumah cetak di Probolinggo Jawa Timur, Abdullah Agus Salim yang awalnya menjual rumah subsidi Rp 88 juta mengaku sumringah dengan adanya ketentuan ini. Ia siap menjual rumah dengan harga baru yaitu Rp 115 juta.

"Ini justru yang saya tunggu, kalau benar saya mau naikkan harga. Saya bisa geber penjualan," kata Agus kepada detikFinance

Hingga kini, Agus telah menjual 126 unit rumah cetak di Sukodadi Indah, Paiton Probolinggo. Target selanjutnya, ia akan kembali membangun 170 unit rumah baru.

Rumah cetak adalah inovasi jenis rumah yang diciptakan oleh Umar Sumadi, pria asal Palembang. Kelebihannya, selain bisa menekan biaya produksi, waktu pengerjaan rumah ini membutuhkan waktu yang sangat singkat, berbeda dengan rumah bata biasa.

"Saya belajar dari Pak Umar, saya orang yang pertama membangun rumah cetak ini di Jawa Timur," lanjut Agus.

Bedanya dengan pembangunan rumah biasa, rumah cetak tidak memerlukan batu bata sama sekali. Materialnya hanya berupa rangka, pasir berbagai ukuran dan semen. Rumah ini juga diklaim tahan gempa dan kuat.
"5 kali lebih kuat dari rumah bata berdasarkan hasil uji laboratorium di Pusat Penelitian Permukiman di Bandung," katanya.

Beberapa waktu lalu Kementerian Perumahan Malaysia melongkok ke Jawa Timur untuk melihat bagaimana konsep pembangunan rumah cetak ini. Rencananya, konsep tersebut juga akan diaplikasikan di Malaysia.

"Itu deal-deal-annya dengan Pak Umar. Mereka mau supply itu untuk di sana," katanya

Rumah cetak tersebut dinilai cocok untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Saat ini, rumah cetak tersebut sudah dibangun di beberapa daerah di Sumatera seperti Palembang, Aceh, Nias. Juga tersebar di Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan serta Jakarta. "Saya mau share ke teman-teman pengembang lain," tutupnya.

Senin, 05 Mei 2014

Penghasilan Rp 7 Juta Boleh Beli Rumah Subsidi Tapi Harus Rusun


http://images.detik.com/content/2014/05/07/1016/apartemenperumnas2.jpg
Jakarta -Pemerintah memberikan ketentuan batas penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin membeli rumah. Untuk rumah tapak, batas maksimum penghasilan Rp 4 juta/bulan dari sebelumnya Rp 3,5 juta/bulan, sedangkan rumah susun (rusun) Rp 7 juta/bulan dari sebelumnya Rp 5,5 juta/bulan.

Deputi Bidang Pembiayaan Perumahan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Sri Hartoyo mengatakan kebijakan ini untuk memperluas jangkauan agar lebih banyak lagi masyarakat yang mampu membeli rumah.

"Batas penghasilan memperluas jangkauan masyarakat untuk bisa membeli rumah. Itu batas maksimal," kata Sri.

Ia menjelaskan, untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin membeli rumah dengan penghasilan jauh di bawah 4 juta dibolehkan untuk mendapatkan KPR subsidi asalkan mampu membayar cicilannya.

Sedangkan untuk rumah susun, batas maksimal penghasilannya Rp 7 juta, jika jauh di bawah penghasilan senilai itu pun boleh membeli rumah subsidi. "Kalau di atas itu (penghasialnnya) nggak boleh," katanya.

Selain itu, Sri mengatakan kebijakan ini bertujuan agar masyarakat didorong untuk tinggal di rumah susun. Salah satu caranya adalah dengan dihentikannya penyaluran KPR subsidi untuk rumah tapak.

"Kalau mau beli rumah tapak, ya tanggung sendiri bunganya. Kenyamanan sendiri harus ditanggung sendiri," katanya
Sri mengatakan, masyarakat Indonesia sudah saatnya berpikir lebih ke depan dengan tinggal di rumah susun. Selain itu, ketersediaan lahan untuk rumah tapak pun kian terbatas.

Terkait budaya tinggal di rumah tapak akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Harga rumah susun pun akan ditentukan oleh pasar.

"Kalau di pasar kemampuan masyarakat belinya hanya mampu yang Rp 150 juta, tentunya pasokan akan menyesuaikan permintaan. Dan asumsi bangunan rusun itu sampai 20 tingkat atau lantai, tidak harus begitu. Kalau misalkan pengembang bisa menyediakan 2 atau 3 lantai harganya lebih murah bisa terjangkau masyarakat," katanya.

Penyediaan rumah susun untuk memenuhi kebutuhan para pekerja yang ingin tinggal di dekat tempat bekerja. Sehingga itu pun bisa mengurangi kemacetan lalu lintas karena pergerakan kendaraan akan semakin sedikit.

"Kalau jarak semakin jauh, ongkos semakin mahal, mereka kalau jauh itu selain transportasi massal menimbulkan kemacetan lalu lintas ke mana-mana. Kalau di perkotaan dia bisa manfaatkan angkutan umum. Bisa sekaligus mengurangi kemacetan melalui pembentukan kota kompak," katanya.
Meski demikian, Sri mengatakan, masyarakat tetap boleh membeli rumah tapak tapi tanpa subsidi.

Ia juga mengatakan, kenaikan harga subsidi yang telah ditetapkan pemerintah dipicu beberapa hal. Salah satunya adalah kenaikkan inflasi di setiap wilayah, tanah, biaya upah, dan bangunan.

"Harga itu pertimbangannya harga biasa saja. Upah, bahan, tanah, kondisi yang dipicu oleh inflasi," kata Sri.

Selain itu, Sri juga mengatakan, kenaikan harga ini akan merangsang para pengembang agar kembali bergairah membangun rumah dan rusun. Ia mengakui beberapa pengembang sempat menahan pasokan rumah karena ketentuan kenaikan harga rumah sempat tertunda.

Minggu, 04 Mei 2014

Bisnis Properti Ciputra di Tiongkok, Vietnam, dan Kamboja Lesu


http://images.detik.com/content/2014/05/07/1016/191447_tiongkok.jpgSuasana di Kota Beijing, Tiongkok
Jakarta -Perusahaan properti, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) mengakui ekspansi bisnisnya di luar negeri masih lesu. Tiga negara yang dirambah oleh CTRA, yaitu Tiongkok, Vietnam dan Kamboja tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.

Direktur CTRA Tulus Santoso mengatakan secara makro ekonomi, ketiga negara tersebut juga tengah mengalami perlambatan sehingga berimbas ke pertumbuhan sektor properti.

"Untuk Vietnam, Kamboja, dan Tiongkok. Semua memang sedang slowdown," kata Tulus di Gedung BEI, SCBD,
Bahkan ekonomi Vietnam sudah melambat sejak tahun 2008 karena terkena efek dari krisis keuangan di negara maju waktu itu. Sementara Tiongkok dan Kamboja juga mengalami perlambatan terlihat dalam 2 tahun terakhir.

"Vietnam sudah lebih dulu, dari 2008," ujarnya.

Sehingga, dalam beberapa tahun terakhir perseroan lebih berfokus kepada pasar dalam negeri. Menurutnya dari sisi pertumbuhan memang masih lebih besar dibandingkan dengan ketiga negara tersebut.

"3 tahun ini kami lebih berkonsentrasi di Indonesia," imbuhnya.

Bisnis properti di luar negeri, harus menunggu ekonomi pulih secara keseluruhan. Saat ini memang sedikit ada titik cerah karena beberapa lembaga Internasional sudah memprediksi ekonomi dunia mulai akan memperlihatkan perbaikan.

"Bisnis yang di luar negeri kami masih menunggu kondisi. Sudah terlihat ada tanda-tanda perbaikan. Kita akan siap-siap," terangnya.

Sabtu, 03 Mei 2014

Agung Podomoro Cari Utang Rp 750 Miliar Buat Beli Tanah 20 Hektar


http://images.detik.com/content/2014/05/08/1016/agungdlm.jpg
Jakarta -PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) tengah mengincar 20 hektar lahan yang akan dikembangkan untuk dijadikan kawasan terpadu atau superblok.

Untuk mendanai aksi korporasinya itu, perseroan bakal menerbitkan Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) tahap kedua senilai Rp 750 miliar pada bulan ini.

Direktur Agung Podomoro Cesar M. Dela Cruz mengatakan, dana dari hasil emisi obligasi tahap kedua akan digunakan untuk development proyek dan akusisi lahan.

"Setiap tahun kami memang anggarkan dana untuk tambah lahan. Dana itu, kami siapkan jika ada lahan yang siap untuk diakuisisi. Saat ini kita sedang melihat-lihat di daerah utara dan timur masing-masing 10 hektar untuk 2 proyek superblok. Lokasi jelasnya belum bisa kami sebut karena nanti akan ada spekulasi harga," ujar dia saat acara Institutional Investor Day 2014, di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (8/5/2014).

Dia menjelaskan, penerbitan obligasi ini merupakan lanjutan dari obligasi tahap pertama senilai Rp 1,2 triliun pada tahun 2013. Obligasi ini bakal terbitkan senilai total Rp 2,5 triliun, sehingga masih ada sisa sekitar Rp 550 miliar yang belum diterbitkan.

Dia menyebutkan, obligasi tahap kedua ini memiliki tenor 5 tahun dan bunga sekitar 12,25%.

"Bunga obligasi di kisaran 12,25% dan tenornya itu 5 tahun," kata dia.

Jumat, 02 Mei 2014

Sudah 20 Tahun Tak Ada Rumah Subsidi Dibangun di Jakarta


http://images.detik.com/content/2014/05/07/1016/094948_rumahsubsidi.jpeg
Jakarta -DKI Jakarta menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tak ada rumah tapak (landed house) bersubsidi dalam daftar harga rumah subsidi terbaru. Kawasan Ibukota ini hanya ada daftar harga rumah susun sederhana milik (rusunami) bersubsidi.

Deputi Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Sri Hartoyo mengatakan ketersediaan lahan di Jakarta makin menipis. Menipisnya lahan di Jakarta membuat harga tanah sangat tinggi, sehingga tak mungkin dibangun rumah tapak subsidi.

Bahkan selama 20 tahun terakhir pembangunan rumah tapak bersubsidi tak lagi dilakukan di Jakarta, semuanya dialihkan ke pembangunan hunian vertikal seperti rusun atau apartemen sederhana.

"Dalam 20 tahun terakhir, di Jakarta tidak tersedia rumah sejahtera tapak. Adanya di Bodetabek," kata Sri kepada detikFinance.

Seperti diketahui Kemenpera telah menetapkan harga rumah baru per April lalu. Ketentuan tersebut tertuang dalam Permenpera no 4 dan 5 tahun 2014.

Ketentuan harga rumah baru tersebut berlaku untuk rumah tapak dan rumah susun sederhana milik. Harga berebda-beda di setiap provinsi, dan beberapa kota atau kabupaten di sebuah provinsi itu.

Daftar Harga Rumah Susun bersubsidi di Jakarta:



  • Jakarta Barat Rp 8,9 juta/meter
  • Jakarta Selatan Rp 9,2 juta/meter
  • Jakarta Timur Rp 8,8 juta/meter
  • Jakarta Utara Rp 9,6 juta/meter
  • Jakarta Pusat Rp 9,3 juta/meter